Senin, 16 Desember 2024

PERANAN JUAL BELI DAN KHIYAR DALAM EKONOMI SYARIAH

 

PERANAN JUAL BELI DAN KHIYAR DALAM EKONOMI SYARIAH

A.    Pengertian Dan Dasar Jual Beli

Jual  beli  secara  bahasa  artinya  memindahkan  hak  milik  terhadap  benda  dengan  akad  saling mengganti. Sedangkan menurut istilah adalah akad saling menganti dengan harta yang berakibat kepada  kepemilikan terhadap  suatu  benda  atau  manfaat  untuk  tempo  waktu  selamanya.  Dengan kata “saling mengganti” maka tidak termasuk di dalamnya hibah, dan yang lain yang tidak ada saling menganti, dan dengan kata “harta” tidak termasuk akad nikah sebab walaupun ada saling ganti namun ia bukan menganti harta dengan harta akan tetapi halalnya bersenang senang dengan istri, dan dengan kata “kepemilikan harta dan manfaatnya untuk selama lamanya”, maka  tidak termasuk  di  dalamnya  akad  sewa  karena  hak  milik  dalam  sewa  bukan  kepada  bendanya  akan tetapi manfaatnya.[1]

Abu Sa’id bin Abu Amr mengabarkan kepada kami, Abu Abbas Al Asham mengabarkan  kepada  kami,  Ar-Rabi’  mengabarkan kepada  kami,  Syafi’i  mengabarkan  kepada  kami,  dia berkata, Allah berfirman: yang artinya : Padahal  Allah  telah  menghalalkan jual beli  dan  mengharamkan  riba(QS. al-Baqarah [2]: 275)

Penghalalan jual beli oleh Allah itu mengandung dua kemungkian makna, yaitu:[2]: Pertama, Allah menghalalkan setiap jual beli yang biasa diteransaksikan manusia dengan sikap saling rela dengan keduanya. Ini adalah maknanya yang paling kuat.

Kedua,  Allah  menghalalkan  jual  beli  apa  bila  tidak  dilarang  oleh  Rasulullah  s.a.w.

sebagai penerang dari Allah tentang makna yang dia kehendaki.

Dengan demikian, jual beli itu termasuk hukum mujmal yang telah ditetapkan hukumnya oleh  Allah  dalam  kitabnya  dan  dijelaskan  tata  caranya  melalui  lisan  Nabinya  atau termasuk hukum  umum  yang  dimaksudkan  berlaku  khusus,  lalu  Rasulullah  s.a.w.  menjelaskan  apa yang dimaksud dengan kehalalannya serta apa yang diharamkam darinya; atau dia masuk ke katagori keduanya;  atau  termasuk  hukum  umum  yang  dibolehkan  Allah  kecuali  yang  diharamkannya melalui  lisan  nabinya  dan  sumber hukum  yang  semakna.

 

 

B.     Rukun Dan Syarat Jual Beli

1. Syarat jual beli

Pertama, bālig dan  berakal,  oleh  sebab  jual  beli  yang dilakukan  anak  kecil  yang  belum  berakal  dan  orang  gila  hukumnya  tidak  sah.  Adapun  anak kecil  yang  sudah mumayyiz, menurut  ulama  Hanafiyah  apabila  akad  yang  dilakukannya membawa keuntungan bagi dirinya, seperti menerima hibah, wasiat dan sedekah, maka akadnya sah. Sebaliknya apabila akad itu membawa kerugian bagi dirinya seperti meminjamkan hartanya kepada  orang  lain,  mewakafkan,  atau  menghibahkannya,  maka  tindakan  hukumnya  ini  tidak boleh  dilaksanakan,  tetapi  jika  transaksi  itu  sudah  mendapat  izin  dari  walinya,  maka  transaksi tersebut hukumnya sah. Jumhur ulama berpendirian bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu  harus  telah bālig dan  berakal.  Apabila  orang  yang  berakad  itu  masih mumayyiz,  maka  jual belinya tidaksah, sekalipun mendapat izin dari walinya.

Kedua, orang yang melakukan akad itu orang  yang  berbeda,  artinya  seseorang  itu  tidak  dapat  bertindak  dalam  waktu  yang  bersamaan sebagai  penjual  sekaligus  pembeli. 

ketiga,harus  bebas  memilih. atau dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa). Keempatdisyarakan ada hak milik penuh agar kedua pihak yang melakukan akad jual beli adalah orang yang mempunyai hak milik penuh terhadap  barang  yang  sedang  diperjualbelikan  atau  ia  mempunyai  hakuntuk  menggantikan posisi pemilik barang yang asli.[3]

 

2. Rukun jual beli

Aqidain (pelaku transaksi)Aqidain  adalah  subjek  atau  pelaku  transaksi  yang  meliputi  penjual  (Ba`i)  dan pembeli  (Mustari).  Dalam  praktek  jual  beli  tanah  di  Desa  karangdoro  orang  yang menjual adalah pemilik tanah, makelar hanyalah sebagai pelantara antara penjual dan pembeli .

Ma`qud alaihMa`qud  alaihadalah  komuditi  dalam  transaksi  jual  beli  yang  mencakup  barang dagangan (Mustman)dan alat pembayaran (saman).

Sighot Sighotadalah  bahasa  interaktif  dalam  sebuah  transaksi,  yang  meliputi

penawaran (ijab) dan persetujuan (qabul). Dalam transaksi jual beli, sighot di perlukan karena jual beli adalah akad yang berorentasi pada kerelaan hati (Taradlin), dan ijab qobul merupakan  ekspresi  paling  representatife  untuk  pernyataan tarodlin.[4]

C.    Hukum dan sifat jual beli

Perdagangan atau jual beli merupakan akad yang diperbolehkan menurut Al-Qur’an, sunnah, dan ijmak ulama, sehingga hukum asal dari kegiatan jual beli adalah mubah atau boleh. Ini artinya, setiap umat muslim dapat melakukan akad jual beli ataupun tidak, tanpa ada efek hukum apa pun.[5]

Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian ialah jual beli salam (pesanan). Menurut kebiasaan para pedagang, salam adalah bentuk jual beli yang tidak tunai (kontan), salam pada awalnya berarti meminjamkan barang atau sesuatu yang seimbang dengan harga tertentu.

D.    Macam-macam jual beli

Jumhur fuqaha telah membagi jual beli pada dua kategori, yaitu jual beli shahih dan jual beli batil, yaitu:

1.      Jual beli yang shahih

 yaitu jual beli yang disyariatkan menurut asal dan sifat-sifatnya terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya tidak terkait dengan hak orang lain dan tidak ada hak khiyar di dalamnya. Jual beli shahih menimbulkan implikasi hukum, yaitu berpindahnya kepemilikan, yaitu barang berpindah miliknya menjadi milik pembeli dan harga berpindah miliknya menjadi milik penjual. Akad shahih ini dapat dibagi menjadi dua macam yaitu:[6]

1) Akad Nafiz yaitu akad yang bebas dari setiap faktor yang menyebabkan tidak dapatnya akad tersebut tidak dilakasanakan. Dengan kata lain, akad nafiz adalah akad yang tercipta secara sah dan langsung menimbulkan akibat hukum sejak saat terjadinya akad, maksudnya adalah akad yang dilangsungkan sesuai rukun dan syarat.

2)Akad Mauquf yaitu kebalikan dari akad nafiz, adalah akad yang tidak dapat secara langsung dilaksanaka akibat hukumnya sekalipun telah dibuat secara sah, melainkan masih tergantung (mauquf) kepada adanyaratifikasi (bentuk pengesahan perjanjian) dari pihak yang berkepentingan. Misalnya, akad anak mumayiz yang tergantung kepada ratifikasi walinya dalam hal ia melakukan akad yang bersifat timbal balik, akad orang dipaksa yang tergantung kepada ratifikasi yang bersangkutan setelah hilangnya paksaan, akad penerima kuasa yang melampaui batas pemberian kuasa yang tergantung kepada ratifikasi pemberi kuasa, atau akad pelaku tanpa kewenangan (fudhuli) yang tergantung kepada ratifikasi pihak yang berhak.

2. Jual beli ghairu shahih

 adalah suatu transaksi jual beli yang tidak memenuhi adanya rukun-rukun dan syarat-syarat jual beli serta tidak memiliki implikasi hukum pada objek akad. Jual beli yang termasuk kategori jual beli ghairu shahih adalah jual beli batil dan jual beli fasid, berikut penjelasannya yaitu:[7]

1) Jual beli batil adalah jual beli yang transaksinya tidak disyaratkan menurut hukum asal dan sifatnya tidak memenuhi salah satu rukun dan syarat-syaratnya. Contohnya, jual beli yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap hukum. Jual beli batil ini banyak macam diantaranya adalah:

a) Jual beli sesuatu yang tidak ada, seperti menjual buah-buahan yang putiknya belum muncul, atau anak yang belum ada sekalipun diperut induknya telah ada. Menurut ulama fiqh jual beli seperti ini tidak sah atau batil.

b) Menjual barang yang tidak diserahkan pembeli, seperti menjual burung yang lepas dari sangkarnya. Hukum ini disepakati oleh ulama fiqh termasuk kategori jual beli tipuan.

c) Jual beli benda najis, seperti babi, khamr, bangkai dan darah. Karena semua itu dalam pandangan Islam adalah najis atau tidak mengandung makna harta.

d) Jual beli gharar, yakni yang mengandung unsur penipuan yang pada lahirnya baik, namun dibalik itu megandung unsur tipuan. Misalnya, jual beli buah- buahan yang dionggok atau ditumpuk.

 

E.     Pengertian Khiyar

Khiyar menurut bahasa adalah mencari hal yang terbaik dari dua perkara atau lebih. Khiyar menurut istilah iyalah pihak yang berakad memiliki hak untuk melangsungkan atau membatalkan akad.

Definisi khiyar menurut wahbah al-zuhaili adalah orang yang berakad memiliki hak untuk melanjutkan atau membatalkan akad, jika khiyar yang di maksud adalah khiyar syarat, khiyar ru’yab atau khiyar aib, atau orang yang berakad diperkenankan untuk memilih salah satu dari barang yang diperjual belikan, jika khiyar yang dimaksud adalah khiyar ta’yin.[8]

F.     Hikmah Khiyar

Hikmah diadakannya khiyar dalam akad adalah menegaskan ketelaan kedua pelaku akad dalam mengadakan atau melakukan akad. Terkadang seseorang,misalnya membeli barang dagangan dan tidak melihat adanya cacat ketika sedang berakad, kemudaian tampak adanya cacat setelah akad selesai. Untuk keadilan, maka pembeli itu diberikan khiyar ( hak menentukan pilihan) untuk membatalkan atau mempertahankan akad

G.    Macam-macam khiyar

1.      khiyar majlis yaitu  tempat  transaksinya  jual  beli.  Dapat dipahami bahwa jika para pihak akan melangsungkan jual beli maka para pihak memiliki hak pilih selama para pihak tersebut masih dalam lingkungan tempat transaksi jual beli tersebut (masih dalam majelis). Pada hak ini transaksi jual beli  dapat  dikatakan  sah  apabila  para  pihak  yang  melaksanakan  akad  sudah menentukan  pilihan  akan  menjual  atau  membeli.  Atau  bisa  dikatakan  bahwa bagi yang menyatakan ijab, maka boleh menarik kembali ucapannya sebelum nantinya  dijawab  qabul.

2.      khiyar syarat yaitu kedua belah pihak atau salah satunya berhak memberikan  persyaratan  khiyar  dalam  kurun  waktu  tertentu. Misalnya,  pembeli  berkata  kepada  penjual  “saya  beli  barang  ini  dari  anda (penjual), tetapi saya punya hak untuk mengembalikan barang ini dalam waktu 3 hari.” Ketika jangka waktu yang disyaratkan telah berakhir, maka hak untuk membatalkan yang ditimbulkan oleh syarat ini tidak berlaku lagi.

3.      khiyar ‘aib yaitu hak pilih untuk meneruskan atau membatalkan akad dikarenakan terdapat cacat pada barang yang mengurangi harganya. Jadi khiyar  aib  ini  hak  membatalkan  akad  apabila  terdapat  cacat  pada  objek,  dan cacat   tersebut   tidak   diketahui   oleh   pemilik   atau   penjualnya. Adapun persyaratan dari khiyar aib yaitu:

a.) kecacatan barang tersebut sebelum akad atau  setelah  akad  namun  belum  terjadi  penyerahan;

b)  pihak  pembeli  tidak mengetahui  akad  tersebut  ketika  berlangsung  akad  atau  ketika  berlangsung penyerahan. Jika pihak pembeli sebelumnya telah mengetahuinya maka tidak ada  hak  khiyar  baginya;

c)  tidak  ada  kesepakatan  bersyarat  bahwasanya penjual tidak bertanggung jawab terhadap segala cacat yang ada. Contohdari khiyar aib yaitu pembeli membeli barang berupa case handphone lalu pembeli tersebut  belum  sempat  melihat  barangnya  sebelum  terjadi  serah  terima, sehingga  pembeli  tersebut  tidak  mengetahui  bagaimana  kondisi  barangnya cacat  di  majlis  dan  ternyata  pembeli  tersebut  tidak  terima  dengan  kondisi barangnya,  sehingga  pembeli  mempunyai  hak  yang  disebut  khiyar  ‘aib.

4.      khiyar ta’yin yaitu hak memilih barang apa yang akan dijadikan objek akad, berdasarkan apa yang telah disepakati. Hak ini diberikan kepada pembeli apabila identiti barang yang dibeli masih belum jelas. Ini bermakna jika pembeli telah memilih salah satu item sebagai pembelian mereka, objek kontrak diketahui.  Ulama  berbeda  pendapat  tentang  sahnya  khiyar  ta'yin-ada  yang berpendapat   dibolehkan   berdasarkan   dalil   istihsan,   manakala   yang   lain berpendapat  tidak  boleh  berdasarkan  qiyas  (berdasarkan  ketentuan  bahawa objek akad harus jelas).

5.      Khiyar  Ru’yah:  Hak  untuk  melanjutkan  kontrak  dalam transaksipembelian,  tetapi  belum  melihat  secara  langsung  barang  yang  akan  dibelinya untuk  membeli  atau  membatalkan  saat  sudah  melihat  barang.  Jika  barang sudah dilihat sesuai dengan kondisi pesanannya saat jual beli, maka pembeli melanjutkan  akad,  jika  yang  diterima  tidak  sesuai  maka  pembeli  mempunyai hak  khiyar  ru’yah  melanjutkan  atau  membatalkan  dan  mengambil  uangnya kembali.  Bai’  ‘ain ghaib ahadalah  dibenarkan,  menurut  kebanyakan  fuqaha Islam.  Ini termasuk  membeli  barangan  makanan  seperti  sayur-sayuran  yang tidak langsung kelihatan. Alasan di sebalik ini ialah, oleh kerana pembeli tidak mempunyai objek di hadapannya pada masa pembelian, dia boleh menganggap bahwa ia berada dalam keadaan yang sama seperti semasa dia menerimanya.[9]

H.    Dasar hukum khiyar

Hukum khiyar dalam jual beli menurut Islam adalah mubah. Tetapi jika khiyar dipergunakan untuk tujuan menipu atau berdusta maka hukumnya haram. Berkaitan dengan diperbolehkannya khiyar, Rasulullah Saw. bersabda:

Artinya:”Engkau berhak khiyar dalam tiap-tiap barang yang engkau beli selama tiga malam, jika engkau suka maka ambillah dan jika tidak suka maka kembalikanlah kepada pemilinya.” (HR. Ibnu Majah).

Adapun dasar hukum khiyar sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an pada surat Annisa juz 4 ayat 29 yang sudah dipaparkan diatas. Pada intinya dalam khiyar harus berdasarkan prinsip suka sama suka antara penjual dan pembeli, saling berhati-hati, tidak semena-mena dalam jual beli barang dan saling bersikap jujur. Dalam hadis juga dijelaskan : Dari Ibnu Umar Radliyallaahu'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila dua orang melakukan jual-beli, maka masing-masing orang mempunyai hak khiyar (memilih antara membatalkan atau meneruskan jual- beli) selama mereka belum berpisah dan masih bersama; atau selama salah seorang di antara keduanya tidak menentukan khiyar pada yang lain, lalu mereka berjual-beli atas dasar itu, maka jadilah jual-beli itu. Jika mereka berpisah setelah melakukan jual-beli dan masing-masing orang tidak mengurungkan jual-beli, maka jadilah jual-beli itu."(H.R. Muslim).[10]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Al-rasyad.2022.jual beli dalam perspektif  islam. Vol 1. No 1

Al-rasyad.2022.jual beli dalam perspektif islam. Vol 1. No1

Iqtisadiyah,risalah.2022. fiqh perbandingan tentang jual beli. Vol.1 No1

Inayah,nurul. 2023. Tinjauan hukum islam terhadap jual beli tanah. Vol 3. No2

Shobirin,2019.jual beli dalam pandangan islam. Vol 3. No 1

trisnawati reni, 2023, tinjauan hukum islam tentang praktik jual beli telur puyuh. vol.1 No1

Trisnawati, reni. 2023, tinjauan hukum islam tentang praktik jual beli telur puyuh. Vol.l .No1

Salsabila,nadya,2023,problematika implementasi khiyar dalam jual beli online. Vol 9  No 1[1] Kurniawan,danang,2019. Prospektif hukum islam tentang jual beli barang bekas. Vol 2. No 1

Buku

Rosisdin,2019.fiqh muamalat.cetakan ke-1. Malang:PT literindo berkah karya.

 



[1]Al-rasyad.2022.jual beli dalam perspektif  islam. Vol 1. Hal 2

[2] Al-rasyad.2022.jual beli dalam perspektif islam. Vol 1. Hal 4

[3] Iqtisadiyah,risalah.2022. fiqh perbandingan tentang jual beli. Vol.1 Hal. 10

[4] Inayah,nurul. 2023. Tinjauan hukum islam terhadap jual beli tanah. Vol 3. Hal. 7

[5] Shobirin,2019.jual beli dalam pandangan islam. Vol3. Hal 12

[6] trisnawati reni, 2023, tinjauan hukum islam tentang praktik jual beli telur puyuh. vol.1 hal. 38

[7] Trisnawati, reni. 2023, tinjauan hukum islam tentang praktik jual beli telur puyuh. vol.1 hal 4

[8] Rosisdin,2019.fiqh muamalat.cetakan ke-1. Malang:PT literindo berkah karya. Hal. 19

[9] Salsabila,nadya,2023,problematika implementasi khiyar dalam jual beli online. Vol 9  hal 6

[10] Kurniawan,danang,2019. Prospektif hukum islam tentang jual beli barang bekas. Vol2. Hal.7

0 komentar:

Posting Komentar

“INDUSTRI HALAL” STRATEGI MENUJU FALAH ZAMAN NOW ; KEGIATAN EKONOMI YANG MENERAPKAN NILAI DAN PRINSIP BERDASARKAN SYARIAT ISLAM

  INDUSTRI HALAL” STRATEGI MENUJU FALAH ZAMAN NOW ; KEGIATAN EKONOMI YANG MENERAPKAN NILAI DAN PRINSIP BERDASARKAN SYARIAT ISLAM Manusia aka...