PERANAN JUAL BELI DAN KHIYAR DALAM EKONOMI SYARIAH
A.
Pengertian Dan Dasar Jual Beli
Jual beli secara
bahasa artinya memindahkan
hak milik terhadap
benda dengan akad
saling mengganti. Sedangkan menurut istilah adalah akad saling menganti
dengan harta yang berakibat kepada
kepemilikan terhadap suatu benda
atau manfaat untuk
tempo waktu selamanya.
Dengan kata “saling mengganti” maka tidak termasuk di dalamnya hibah,
dan yang lain yang tidak ada saling menganti, dan dengan kata “harta” tidak
termasuk akad nikah sebab walaupun ada saling ganti namun ia bukan menganti
harta dengan harta akan tetapi halalnya bersenang senang dengan istri, dan
dengan kata “kepemilikan harta dan manfaatnya untuk selama lamanya”, maka tidak termasuk di
dalamnya akad sewa
karena hak milik
dalam sewa bukan
kepada bendanya akan tetapi manfaatnya.[1]
Abu Sa’id bin Abu Amr mengabarkan kepada kami, Abu Abbas
Al Asham mengabarkan kepada kami,
Ar-Rabi’ mengabarkan kepada kami,
Syafi’i mengabarkan kepada
kami, dia berkata, Allah
berfirman: yang artinya : Padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba”
(QS. al-Baqarah [2]:
275)
Penghalalan
jual beli oleh Allah itu mengandung dua kemungkian makna, yaitu:[2]:
Pertama, Allah menghalalkan setiap jual beli yang biasa diteransaksikan manusia
dengan sikap saling rela dengan keduanya. Ini adalah maknanya yang paling kuat.
Kedua, Allah
menghalalkan jual beli
apa bila tidak
dilarang oleh Rasulullah
s.a.w.
sebagai penerang dari
Allah tentang makna yang dia kehendaki.
Dengan
demikian, jual beli itu termasuk hukum mujmal yang telah ditetapkan hukumnya
oleh Allah dalam
kitabnya dan dijelaskan
tata caranya melalui
lisan Nabinya atau termasuk hukum umum
yang dimaksudkan berlaku
khusus, lalu Rasulullah
s.a.w. menjelaskan apa yang dimaksud dengan kehalalannya serta
apa yang diharamkam darinya; atau dia masuk ke katagori keduanya; atau
termasuk hukum umum
yang dibolehkan Allah
kecuali yang diharamkannya melalui lisan
nabinya dan sumber hukum
yang semakna.
B. Rukun Dan Syarat Jual Beli
1. Syarat jual beli
Pertama, bālig dan berakal, oleh
sebab jual beli
yang dilakukan anak kecil
yang belum berakal
dan orang gila
hukumnya tidak sah.
Adapun anak kecil yang
sudah mumayyiz, menurut
ulama Hanafiyah apabila
akad yang dilakukannya membawa keuntungan bagi dirinya,
seperti menerima hibah, wasiat dan sedekah, maka akadnya sah. Sebaliknya apabila akad
itu membawa kerugian bagi dirinya seperti meminjamkan hartanya kepada orang
lain, mewakafkan, atau
menghibahkannya, maka tindakan
hukumnya ini tidak boleh
dilaksanakan, tetapi jika
transaksi itu sudah
mendapat izin dari
walinya, maka transaksi tersebut hukumnya sah. Jumhur ulama
berpendirian bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu harus
telah bālig dan berakal. Apabila
orang yang berakad
itu masih mumayyiz, maka
jual belinya tidaksah, sekalipun mendapat izin dari walinya.
Kedua, orang yang melakukan akad itu orang yang
berbeda, artinya seseorang
itu tidak dapat
bertindak dalam waktu
yang bersamaan sebagai penjual
sekaligus pembeli.
ketiga,harus
bebas memilih. atau dengan
kehendak sendiri (bukan dipaksa). Keempatdisyarakan ada hak milik penuh agar
kedua pihak yang melakukan akad jual beli adalah orang yang mempunyai hak milik
penuh terhadap barang yang
sedang diperjualbelikan atau
ia mempunyai hakuntuk
menggantikan posisi pemilik barang yang asli.[3]
2. Rukun
jual beli
Aqidain (pelaku transaksi)Aqidain adalah
subjek atau pelaku
transaksi yang meliputi
penjual (Ba`i) dan pembeli
(Mustari). Dalam praktek
jual beli tanah
di Desa karangdoro
orang yang menjual adalah pemilik
tanah, makelar hanyalah sebagai pelantara antara penjual dan pembeli .
Ma`qud alaihMa`qud
alaihadalah komuditi dalam
transaksi jual beli
yang mencakup barang dagangan (Mustman)dan alat pembayaran
(saman).
Sighot Sighotadalah
bahasa interaktif dalam
sebuah transaksi, yang
meliputi
penawaran (ijab) dan persetujuan (qabul). Dalam transaksi jual beli, sighot
di perlukan karena jual beli adalah akad yang berorentasi pada kerelaan hati
(Taradlin), dan ijab qobul merupakan
ekspresi paling representatife untuk
pernyataan tarodlin.[4]
C.
Hukum dan sifat jual beli
Perdagangan atau jual beli merupakan akad yang
diperbolehkan menurut Al-Qur’an, sunnah, dan ijmak ulama, sehingga hukum asal
dari kegiatan jual beli adalah mubah atau boleh. Ini artinya, setiap umat
muslim dapat melakukan akad jual beli ataupun tidak, tanpa ada efek hukum apa
pun.[5]
Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian
ialah jual beli salam (pesanan). Menurut kebiasaan para pedagang, salam adalah bentuk
jual beli yang tidak tunai (kontan), salam pada awalnya berarti meminjamkan
barang atau sesuatu yang seimbang dengan harga tertentu.
D.
Macam-macam jual beli
Jumhur fuqaha telah membagi jual beli pada dua kategori,
yaitu jual beli shahih dan jual beli batil, yaitu:
1.
Jual beli yang shahih
yaitu jual beli
yang disyariatkan menurut asal dan sifat-sifatnya terpenuhi rukun-rukun dan
syarat-syaratnya tidak terkait dengan hak orang lain dan tidak ada hak khiyar
di dalamnya. Jual beli shahih menimbulkan implikasi hukum, yaitu berpindahnya
kepemilikan, yaitu barang berpindah miliknya menjadi milik pembeli dan harga
berpindah miliknya menjadi milik penjual. Akad shahih ini dapat dibagi menjadi
dua macam yaitu:[6]
1) Akad Nafiz
yaitu akad yang bebas dari setiap faktor yang menyebabkan tidak dapatnya akad
tersebut tidak dilakasanakan. Dengan kata lain, akad nafiz adalah akad yang
tercipta secara sah dan langsung menimbulkan akibat hukum sejak saat terjadinya
akad, maksudnya adalah akad yang dilangsungkan sesuai rukun dan syarat.
2)Akad Mauquf
yaitu kebalikan dari akad nafiz, adalah akad yang tidak dapat secara langsung
dilaksanaka akibat hukumnya sekalipun telah dibuat secara sah, melainkan masih
tergantung (mauquf) kepada adanyaratifikasi (bentuk pengesahan perjanjian) dari
pihak yang berkepentingan. Misalnya, akad anak mumayiz yang tergantung kepada
ratifikasi walinya dalam hal ia melakukan akad yang bersifat timbal balik, akad
orang dipaksa yang tergantung kepada ratifikasi yang bersangkutan setelah
hilangnya paksaan, akad penerima kuasa yang melampaui batas pemberian kuasa
yang tergantung kepada ratifikasi pemberi kuasa, atau akad pelaku tanpa
kewenangan (fudhuli) yang tergantung kepada ratifikasi pihak yang berhak.
2. Jual beli ghairu shahih
adalah suatu transaksi jual beli yang tidak
memenuhi adanya rukun-rukun dan syarat-syarat jual beli serta tidak memiliki
implikasi hukum pada objek akad. Jual beli yang termasuk kategori jual beli
ghairu shahih adalah jual beli batil dan jual beli fasid, berikut penjelasannya
yaitu:[7]
1) Jual beli
batil adalah jual beli yang transaksinya tidak disyaratkan menurut hukum asal
dan sifatnya tidak memenuhi salah satu rukun dan syarat-syaratnya. Contohnya,
jual beli yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap hukum. Jual beli batil ini
banyak macam diantaranya adalah:
a) Jual beli
sesuatu yang tidak ada, seperti menjual buah-buahan yang putiknya belum muncul,
atau anak yang belum ada sekalipun diperut induknya telah ada. Menurut ulama
fiqh jual beli seperti ini tidak sah atau batil.
b) Menjual barang yang tidak diserahkan pembeli, seperti
menjual burung yang lepas dari sangkarnya. Hukum ini disepakati oleh ulama fiqh
termasuk kategori jual beli tipuan.
c) Jual beli benda najis, seperti babi, khamr, bangkai
dan darah. Karena semua itu dalam pandangan Islam adalah najis atau tidak
mengandung makna harta.
d) Jual beli gharar, yakni yang mengandung unsur penipuan
yang pada lahirnya baik, namun dibalik itu megandung unsur tipuan. Misalnya,
jual beli buah- buahan yang dionggok atau ditumpuk.
E.
Pengertian Khiyar
Khiyar menurut bahasa adalah mencari hal yang terbaik
dari dua perkara atau lebih. Khiyar menurut istilah iyalah pihak yang berakad
memiliki hak untuk melangsungkan atau membatalkan akad.
Definisi khiyar menurut wahbah al-zuhaili adalah orang
yang berakad memiliki hak untuk melanjutkan atau membatalkan akad, jika khiyar
yang di maksud adalah khiyar syarat, khiyar ru’yab atau khiyar aib, atau orang
yang berakad diperkenankan untuk memilih salah satu dari barang yang diperjual
belikan, jika khiyar yang dimaksud adalah khiyar ta’yin.[8]
F.
Hikmah Khiyar
Hikmah diadakannya khiyar dalam akad adalah menegaskan
ketelaan kedua pelaku akad dalam mengadakan atau melakukan akad. Terkadang
seseorang,misalnya membeli barang dagangan dan tidak melihat adanya cacat
ketika sedang berakad, kemudaian tampak adanya cacat setelah akad selesai.
Untuk keadilan, maka pembeli itu diberikan khiyar ( hak menentukan pilihan)
untuk membatalkan atau mempertahankan akad
G.
Macam-macam khiyar
1. khiyar majlis
yaitu tempat transaksinya
jual beli. Dapat dipahami bahwa jika para pihak akan
melangsungkan jual beli maka para pihak memiliki hak pilih selama para pihak
tersebut masih dalam lingkungan tempat transaksi jual beli tersebut (masih
dalam majelis). Pada hak ini transaksi jual beli dapat
dikatakan sah apabila
para pihak yang
melaksanakan akad sudah menentukan pilihan
akan menjual atau
membeli. Atau bisa
dikatakan bahwa bagi yang
menyatakan ijab, maka boleh menarik kembali ucapannya sebelum nantinya dijawab
qabul.
2. khiyar syarat yaitu
kedua belah pihak atau salah satunya berhak memberikan persyaratan
khiyar dalam kurun
waktu tertentu. Misalnya, pembeli
berkata kepada penjual
“saya beli barang
ini dari anda (penjual), tetapi saya punya hak untuk
mengembalikan barang ini dalam waktu 3 hari.” Ketika jangka waktu yang
disyaratkan telah berakhir, maka hak untuk membatalkan yang ditimbulkan oleh
syarat ini tidak berlaku lagi.
3. khiyar ‘aib yaitu
hak pilih untuk meneruskan atau membatalkan akad dikarenakan terdapat cacat
pada barang yang mengurangi harganya. Jadi khiyar aib
ini hak membatalkan
akad apabila terdapat
cacat pada objek,
dan cacat tersebut tidak
diketahui oleh pemilik
atau penjualnya. Adapun
persyaratan dari khiyar aib yaitu:
a.) kecacatan barang tersebut sebelum akad atau setelah
akad namun belum
terjadi penyerahan;
b) pihak pembeli
tidak mengetahui akad tersebut
ketika berlangsung akad
atau ketika berlangsung penyerahan. Jika pihak pembeli
sebelumnya telah mengetahuinya maka tidak ada
hak khiyar baginya;
c) tidak ada
kesepakatan bersyarat bahwasanya penjual tidak bertanggung jawab
terhadap segala cacat yang ada. Contohdari khiyar aib yaitu pembeli membeli
barang berupa case handphone lalu pembeli tersebut belum
sempat melihat barangnya
sebelum terjadi serah
terima, sehingga pembeli tersebut
tidak mengetahui bagaimana
kondisi barangnya cacat di
majlis dan ternyata
pembeli tersebut tidak
terima dengan kondisi barangnya, sehingga
pembeli mempunyai hak
yang disebut khiyar
‘aib.
4. khiyar ta’yin yaitu
hak memilih barang apa yang akan dijadikan objek akad, berdasarkan apa yang
telah disepakati. Hak ini diberikan kepada pembeli apabila identiti barang yang
dibeli masih belum jelas. Ini bermakna jika pembeli telah memilih salah satu
item sebagai pembelian mereka, objek kontrak diketahui. Ulama
berbeda pendapat tentang
sahnya khiyar ta'yin-ada
yang berpendapat dibolehkan berdasarkan
dalil istihsan, manakala
yang lain berpendapat tidak
boleh berdasarkan qiyas
(berdasarkan ketentuan bahawa objek akad harus jelas).
5. Khiyar Ru’yah:
Hak untuk melanjutkan
kontrak dalam
transaksipembelian, tetapi belum
melihat secara langsung
barang yang akan
dibelinya untuk membeli atau
membatalkan saat sudah
melihat barang. Jika
barang sudah dilihat sesuai dengan kondisi pesanannya saat jual beli,
maka pembeli melanjutkan akad, jika
yang diterima tidak
sesuai maka pembeli
mempunyai hak khiyar ru’yah
melanjutkan atau membatalkan
dan mengambil uangnya kembali. Bai’
‘ain ghaib ahadalah dibenarkan, menurut
kebanyakan fuqaha Islam. Ini termasuk
membeli barangan makanan
seperti sayur-sayuran yang tidak langsung kelihatan. Alasan di
sebalik ini ialah, oleh kerana pembeli tidak mempunyai objek di hadapannya pada
masa pembelian, dia boleh menganggap bahwa ia berada dalam keadaan yang sama
seperti semasa dia menerimanya.[9]
H.
Dasar hukum khiyar
Hukum khiyar dalam
jual beli menurut Islam adalah mubah. Tetapi jika khiyar dipergunakan untuk
tujuan menipu atau berdusta maka hukumnya haram. Berkaitan dengan
diperbolehkannya khiyar, Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya:”Engkau berhak khiyar dalam tiap-tiap barang yang
engkau beli selama tiga malam, jika engkau suka maka ambillah dan jika tidak
suka maka kembalikanlah kepada pemilinya.” (HR. Ibnu Majah).
Adapun dasar hukum
khiyar sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an pada surat Annisa juz 4 ayat 29 yang
sudah dipaparkan diatas. Pada intinya dalam khiyar harus berdasarkan prinsip
suka sama suka antara penjual dan pembeli, saling berhati-hati, tidak semena-mena
dalam jual beli barang dan saling bersikap jujur. Dalam hadis juga dijelaskan :
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Apabila dua orang melakukan jual-beli, maka
masing-masing orang mempunyai hak khiyar (memilih antara membatalkan atau
meneruskan jual- beli) selama mereka belum berpisah dan masih bersama; atau
selama salah seorang di antara keduanya tidak menentukan khiyar pada yang lain,
lalu mereka berjual-beli atas dasar itu, maka jadilah jual-beli itu. Jika
mereka berpisah setelah melakukan jual-beli dan masing-masing orang tidak
mengurungkan jual-beli, maka jadilah jual-beli itu."(H.R. Muslim).[10]
DAFTAR PUSTAKA
Al-rasyad.2022.jual
beli dalam perspektif islam. Vol 1. No 1
Al-rasyad.2022.jual
beli dalam perspektif islam. Vol 1. No1
Iqtisadiyah,risalah.2022.
fiqh perbandingan tentang jual beli. Vol.1 No1
Inayah,nurul.
2023. Tinjauan hukum islam terhadap jual beli tanah. Vol 3. No2
Shobirin,2019.jual
beli dalam pandangan islam. Vol 3. No 1
trisnawati reni, 2023, tinjauan hukum islam tentang praktik jual beli telur
puyuh. vol.1 No1
Trisnawati, reni. 2023, tinjauan hukum islam tentang praktik jual beli
telur puyuh. Vol.l .No1
Salsabila,nadya,2023,problematika
implementasi khiyar dalam jual beli online. Vol 9 No 1[1]
Kurniawan,danang,2019. Prospektif hukum islam tentang jual beli barang bekas.
Vol 2. No 1
Buku
Rosisdin,2019.fiqh muamalat.cetakan
ke-1. Malang:PT literindo berkah karya.
[1]Al-rasyad.2022.jual
beli dalam perspektif islam. Vol 1. Hal
2
[2]
Al-rasyad.2022.jual beli dalam perspektif islam. Vol 1. Hal 4
[3]
Iqtisadiyah,risalah.2022. fiqh perbandingan tentang jual beli. Vol.1 Hal. 10
[4]
Inayah,nurul. 2023. Tinjauan hukum islam terhadap jual beli tanah. Vol 3. Hal.
7
[5]
Shobirin,2019.jual beli dalam pandangan islam. Vol3. Hal 12
[6] trisnawati reni, 2023, tinjauan hukum islam tentang
praktik jual beli telur puyuh. vol.1 hal. 38
[7] Trisnawati, reni. 2023, tinjauan hukum islam tentang
praktik jual beli telur puyuh. vol.1 hal 4
[8]
Rosisdin,2019.fiqh muamalat.cetakan ke-1. Malang:PT literindo berkah karya.
Hal. 19
[9]
Salsabila,nadya,2023,problematika implementasi khiyar dalam jual beli online.
Vol 9 hal 6
[10]
Kurniawan,danang,2019. Prospektif hukum islam tentang jual beli barang bekas.
Vol2. Hal.7






0 komentar:
Posting Komentar